Menemukan Ujung dari Kehilangan Diri
8/26/2015 03:13:00 PM
Saya baru
saja selesai membaca novel karya Adhitya Mulya yang berjudul “Sabtu bersama
Bapak”. Buku ini sebenarnya sudah sejak beberapa bulan yang lalu menarik untuk
saya beli, namun selalu saya urungkan. Kenapa? Karena saya masih punya banyak
buku yang sudah dibeli tetapi belum dibaca dan/atau baru setengah baca. :)
Beberapa minggu lalu
saya putuskan untuk membelinya karena saya melihat diri saya butuh bacaan yang
menyegarkan, bukan sastra berat yang
berjudul “Selingkuh” karya Paulo Coelho yang masih juga belum saya capai
halaman terakhirnya.
Saya
menghabiskan kurang lebih dua jam di kereta untuk menyelesaikan setiap sisa
halaman “Sabtu bersama Bapak.” Saya terdiam beberapa saat setelah menutup novel
tersebut dan memasukkannya ke dalam tote
bag favorit saya. Saya memikirkan tentang salah satu hal yang saya petik
dari cerita novel tersebut.
“Membangun sebuah hubungan itu butuh dua orang yang solid. Yang sama-sama kuat. Bukan yang saling ngisi kelemahan. Karena untuk menjadi kuat adalah tanggung jawab masing-masing orang. Bukan tanggung jawab orang lain.”
Kalau kata
Oprah Winfrey, “Find someone
complimentary you, not supplementary.”
Saya
melepaskan pandangan saya ke jendela kereta yang tidak memperlihatkan apapun
yang berada di luar sana karena gelap. Saya menjadi teringat Bapak saya. Lalu,
Ibu saya. Dan berujung pada rasa syukur luar biasa atas karunia keluarga yang
saya miliki.
Lamunan
tersebut menyadarkan saya. Saya rindu diri saya.
Beberapa
waktu lalu, saya seperti kehilangan diri saya sendiri. Saya merasa tidak
sepenuhnya menjadi diri saya. Selalu ada yang mengganjal, namun belum bisa
terdefinisikan.
Saya lupa
bagaimana saya menikmati waktu untuk saya tidak melakukan apa-apa. Membaca lalu
memikirkan setiap apa yang saya baca. Meluangkan waktu untuk mengkristalkan
sesuatu yang berada dalam kepala saya. Jalan kaki entah ke mana sembari
mengamati setiap detail yang saya lihat atau sembari memikirkan sesuatu yang super acak. Intinya, segala bentuk ketidakjelasan dan keabnormalan yang
saya miliki, itulah yang saya rindukan.
Lamunan tersebut menyadarkan saya. Saya sudah menemukan ujung dari kehilangan diri ini.
Saya pikir saya jenuh dengan segala aktivitas saya selama beberapa bulan terakhir ini. Saya hanya tidak mau mencoba memberikan waktu kepada diri saya sendiri untuk beristirahat.
Seringkali saya hanya tersenyum ketika beberapa orang di dekat saya berkata kepada saya, "Kamu itu coba istirahat." Saya pun menampik karena menurut saya, saya masih menjadi pribadi yang normal, yang masih memiliki waktu haha-hihi dengan teman-teman terdekat. Ternyata yang saya butuhkan bukan hanya waktu bersama teman-teman, melainkan untuk diri saya sendiri.
1 comments
dolce far niente! The sweetness of doing nothing atau kadang orang menyebutnya sebagai delicious idleness. Kadang-kadang hadir untuk diri sendiri memang perlu banget di sela-sela riuh kehidupan yang kita lalui :)
BalasHapus