Time is Like Whole Bean Coffees

"Salah satu hal yang membuat saya iri dengan kalian adalah kalian masih muda. Dulu ketika saya muda, saya masih main-main, tidur, bukan malah datang ke acara seperti ini."

Kira-kira seperti itulah kalimat pembuka dari Mas Ricky Setiawan pada saat sesi penutup pada pertemuan pertama bersama teman-teman Young On Top Campus Ambassador Batch 5. 

Sebelum pertemuan siang ini tadi ditutup, Mas Ricky tidak tahu kenapa meminta ijin kepada operator untuk menggeser meja panjang berwarna putih ke tengah ruangan. Saya tidak yakin bahwa dia akan melakukan sebuah pertunjukan sulap atau pertunjukan lainnya, karena meskipun baru kali pertama bertemu, saya yakin bahwa tampang dia bukanlah tampang seorang pesulap.

"Kalau kopi ini ibarat waktu, banyak orang yang tidak sadar sudah membuangnya. Nongkrong satu jam saja, satu jam lagi, satu jam lagi..," katanya sambil memasukkan satu per satu sendok salah satu jenis Whole Bean Coffees milik Starbucks ke dalam sebuah kotak kaca.

"Lalu, mereka akan sadar ketika semua waktu milik mereka sudah hilang dan terbuang," tambahnya, sembari menuangkan seluruh kopi bubuk yang masih ada di dalam bungkusan sampai tidak ada kopi yang tersisa.

Belum selesai sampai disitu, dia lalu menuangkan sebotol air mineral ke dalam kotak kaca tadi yang telah berisi sebungkus penuh Starbucks Veranda Blend.

--

Saya setuju dengan kata Mas Billy Boen; presentasinya memang sederhana tetapi akan terus bisa diingat. Setidaknya, ingat bagaimana harumnya aroma kopi yang menyebar ke seluruh sudut ruangan, namun masuk ke tenggorokan pun tidak bisa. Lebih menyesakkan karena seharusnya nikmatnya kopi tersebut bisa kita seduh, minum dan nikmati dengan sebagaimana mestinya.

Betapa sayangnya waktu yang terbuang: mahal dan tidak mungkin bisa digunakan lagi.